PENDAHULUAN TIPOLOGI
Tipe berasal
dari kata Yunani‘t i pos’ yang secara luas memiliki cakupan makna yang menunjukkan
dan bisa diaplikasikan kedalam banyak nuansa dan variasi dari ide-ide yang sama
seperti sebuah model, matrik, impressi, cetakan maupun relief.
Tipologi
Karen (1994),
dalam bahasannya tentang tipe dan tipologi, mengemukakan bahwa tipe menyerupai
aspek klarifikasi, yaitu menggabungkan karakteristik yang sama dari kelompok
karya arsitektur tersebut secara detail berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Definisi tipe memiliki dua kelompok konsep utama, yaitu kelompok satu
menganggap tipe sebagai properti bentuk geometris, dan kelompok kedua,
memandang tipe sebagai atribut bentuk yang berhubungan dan dihubungkan dengan
kegunaan dan perkembangan kesejahteraan. Sekaitan dengan penelitian ini maka
tipe dianggap sebagai properti bentuk geometris.
Karen (1994),
menyebutkan bahwa tipologi geometri berguna untuk memahami teks-teks historis
mengenai arsitektur yang memberikan referensi tentang geometri denah, tampang
dan ruang. Tipologi digunakan sebagai alat untuk menganalisis obyek. Dengan
tipologi suatu obyek arsitektur dapat dianalisis perubahan-perubahan yang
berkaitan dengan bangun dasar, sifat dasar, serta proses perkembangan bangunan
dasar tersebut. Selain itu tipologi juga dapat digunakan untuk menerangkan
perubahan-perubahan dari suatu tipe, karena suatu tipe memiliki ciri-ciri
tertentu yang membedakannya dari tipe yang lain. Oleh karena itu tipologi akan
memudahkan mengenali geometri arsitektur.
Selanjutnya
Prijotomo (1995), dalam diktat tentang tipologi geometri, mengemukakan bahwa
pengubahan adalah ihwal membuat sebuah benda asal berubah menjadi benda jadian
yang memperlihatkan adanya serangkaian perbedaan dari benda asalnya. Pengubahan
ini memiliki dua macam kemungkinan yaitu: pertama, pengubahan yang menjadikan
benda jadian sudah tidak memperlihatkan/ memiliki kesamaan dan/ atau keserupaan
dengan benda asal; kedua, perubahan menjadikan benda jadian berbeda dari benda
asalnya tetapi perbedaan itu masih menunjukkan adanya petunjuk-petunjuk akan benda
asalnya.
Style dapat ditambahkan kemudian
setelah struktur terbentuk. (Style adalah ekspresi disain dari tipe yang
terakumulasi dan dapat dikodifikasikan dalam sebuah sistem estetik. Tipe
bangunan adalah hasil program-program arsitektur yang dirumuskan untuk mewadahi
berbagai aktifitas manusia. Sehingga tipe ke belakang memiliki aspek program
dan ke depan memiliki aspek style yang ketiganya merumus dalam pengertian
tipologi. Relasi antar bangunan dipahami dari segi kawasan adalah urban fabric,
dari segi metodologi adalah morfologi, dari segi profesi perancangan adalah
urban design).
Tipologi
bangunan, terdiri
dari bangunan Hunian/Rumah tinggal, Masterplan perumahan, bangunan komersil (Toko,
Ruko, Mall, Cafe, Restoran, dll), Penginapan (Kos-Kosan, Apartemen, Hotel),
Bangunan Rekreasi (Villa, Resort, pusat hiburan, dll), Kantor, Rumah sakit,
bangunan Sekolah (TK hingga Universitas), bangunan peribadatan (Masjid,
Gereja), bangunan transportasi (Stasiun Kereta Api, Terminal Bus, Terminal
Penumpang Kapal Laut, Terminal Bandara/Airport).
Secara harfiah tipologi adalah suatu
ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang tipe. Tipologi arsitektur atau
dalam hal ini tipologi bangunan erat kaitannya dengan suatu penelusuran
elemen-elemen pembentuk suatu sistem objek bangunan atau arsitektural.
Elemen-elemen tersebut merupakan organisme arsitektural terkecil yang berkaitan
untuk mengidentifikasi tipologi dan untuk membentuk suatu sistem, elemen-elemen
tersebut mengalami suatu proyek komposisi, baik penggabungan, pengurangan,
stilirisasi bentuk dan sebagainya. Elemen-elemen dasar adalah
elemen-elemen geometrikal seperti segitiga, lingkaran dan segi-empat. Namun
dalam perkembangan seni dan bentuk, elemen-elemen ini telah banyak mengalami
morfologi / perubahan-perubahan bentuk secara besar-besaran. Hal ini terkait
dengan daya kreatifitas seni manusia dan teknologi yang berkembang. Lalu
bagaimana tipologi bentuk/ arsitektur itu dapat terwujud? Bagaimana
elemen-elemen tersebut mampu membentuk tipe-tipe tertentu?
Menurut Eccles des Beaux Arts, salah
satu dari 3 definisi tipologinya dijelaskan bahwa:
Definisi yang digunakan oleh ahli teori arsitektur dan arsitek Itali dan Perancis selama 2 dasawarsa, memperlakukan tipologi sebagai totalitas kekhususan yang menggambarkan saat diciptakannya karya arsitektural oleh suatu masyarakat atau suatu kelas sosial.
Definisi yang digunakan oleh ahli teori arsitektur dan arsitek Itali dan Perancis selama 2 dasawarsa, memperlakukan tipologi sebagai totalitas kekhususan yang menggambarkan saat diciptakannya karya arsitektural oleh suatu masyarakat atau suatu kelas sosial.
Kemudian Anthony Vidler memberikan
definisinya mengenai tipologi bangunan sebagai berikut:
Tipologi bangunan adalah sebuah
studi/ penyelidikan tentang penggabungan elemen-elemen yang memungkinkan untuk
mencapai/ mendapatkan klasifikasi organisme arsitektur melalui tipe-tipe.
Klasifikasi mengindikasikan suatu perbuatan meringkas/ mengikhtiarkan, yaitu
mengatur penanaman yang berbeda, yang masing-masing dapat diidentifikasikan,
dan menyusun dalam kelas-kelas untuk mengidentifikasikan data umumnya dan
memungkinkan membuat perbandingan-perbandingan pada kasus-kasus khusus.
Klasifikasi tidak memperhatikan suatu tema pada suatu saat tertentu (rumah,
kuil, dsb.) melainkan berurusan dengan contoh-contoh konkrit dari suatu tema
tunggal dalam suatu periode atau masa yang terikat oleh ke-permanen-an dari
karakteristik yang tetap/ konstan.
Dari 2 definisi tersebut dijelaskan
bahwa, dari definisi yang pertama menyatakan tipologi adalah sebuah totalitas
kekhususan karya arsitektural yang diciptakan suatu masyarakat atau kelas
sosial. Dalam hal ini dipahami ada beberapa atau kelompok bentuk arsitektural
dalam masyarakat yang mempunyai ciri-ciri khusus. Kemudian ditambahkan bahwa
yang disebut kelompok bentuk atau klasifikasi menurut Anthony Vidler adalah
adanya suatu kelas-kelas yang mempunyai ciri-ciri tersendiri atau berbeda, yang
dikenal dengan ‘langgam’. Kelompok berbagai ke-khusus-an karya arsitektural
yang beragam tersebut bukan merupakan gejala tema temporal atau tertentu tetapi
relevan disebut tipologi jika terikat dengan ke-permanen-an dari karakteristik
yang tetap atau konstan. Ke-permanen-an ini sebenarnya bukan berarti
perkembangan arsitektur menjadi statis, tapi kedinamisan yang stabil dalam
jangka waktu tertentu. Dari segi masa menurut Yulianto Sumalyo ke-permanen-an
karakteristik tidak terlepas dari perubahan bentuk, sehingga dijelaskan bahwa:
Perubahan bentuk dapat dibedakan
menjadi 2 hal. Yang pertama perubahan bentuk secara pelan-pelan atau
evolusioner dan yang kedua secara cepat. Yang digolongkan dalam kategori
pertama adalah arsitektur klasik dan tradisional, berkembang mengalami
perubahan dalam waktu berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun. Yang
kedua arsitektur modern, berkembang dan berubah cepat, sejalan dengan cepatnya
perkembangan teknologi dan penduduk.
Dari ke semua definisi tersebut
dapat ditarik kesimpulan secara garis besar sebagai berikut: tipologi
arsitektur adalah kegiatan yang berhubungan dengan klasifikasi atau
pengelompokan karya arsitektural dengan kesamaan ciri-ciri atau totalitas
kekhususan yang diciptakan oleh suatu masyarakat atau kelas sosial yang terikat
dengan ke-permanen-an dari karakteristik yang tetap atau konstan. Kesamaan
ciri-ciri tersebut antara lain:
1. kesamaan
bentuk dasar, sifat dasar objek
2. kesamaan fungsi objek
3. kesamaan asal-usul sejarah/ tema tunggal dalam suatu periode atau masa yang terikat oleh ke-permanen-an dari karakteristik yang tetap/ konstan.
2. kesamaan fungsi objek
3. kesamaan asal-usul sejarah/ tema tunggal dalam suatu periode atau masa yang terikat oleh ke-permanen-an dari karakteristik yang tetap/ konstan.
Tipologi dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam mendefinisikan atau mengklasifikasikan objek arsitektural. Tipologi dapat mengidentifikasi perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu objek dan analisa perubahan tersebut menyangkut bentuk dasar objek atau elemen dasar, sifat dasar, fungsi objek serta proses transformasi bentuknya. Menurut Rafael Moneo, analisa tipologi dibagi menjadi 3 fase yaitu:
a. Menganalisa tipologi dengan cara menggali dari sejarah untuk mengetahui ide awal dari suatu komposisi; atau dengan kata lain mengetahui asal-usul atau kejadian suatu objek arsitektural.
b. Menganalisa tipologi dengan cara mengetahui fungsi suatu objek.
c. Menganalisa tipologi dengan cara mencari bentuk sederhana suatu bangunan melalui pencarian bangun dasar serta sifat dasarnya.
TIPOLOGI
ARSITEKTUR BANGUNAN
Tipologi adalah suatu studi yang berkaitan dengan tipe
dari beberapa objek yang memiliki jenis yang sama. Tipologi merupakan
sebuah bidang studi yang mengklasifikasikan, mengkelaskan, mengelompokkan objek
dengan ciri khas struktur formal yang sama dan kesamaan sifat dasar ke dalam
tipe-tipe tertentu dengan cara memilah bentuk keragaman dan kesamaan jenis. Aspek
klasifikasi dalam pengenalan tipologi mengarah pada usaha untuk
mengklasifikasikan, mengkelaskan, mengelompokkan objek berdasarkan
aspek-aspek/kaidah-kaidah tertentu. Aspek-aspek yang dapat diklasifikasikan
dapat berupa fungsi, bentuk, maupun gaya. Tipologi merupakan ilmu yang
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan tipe. Arti kata ‘tipe’ sendiri
berasal dari bahasa Yunani typos yang berarti ‘the root of…’,
atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘akar dari…’(Loekito, 1994).
Moneo (1976) dalam Loekito (1994), secara konsepsional mendefinisikan
tipologi sebagai sebuah konsep yang mendeskripsikan sebuah kelompok obyek atas
dasar kesamaan karakter bentuk-bentuk dasarnya.
Amiuza (2006) dalam kajiannya mengatakan, tipologi
merupakan suatu konsep mendeskripsikan kelompok objek berdasarkan atas kesamaan
sifat-sifat dasar yang berusaha memilah atau mengklasifikasikan bentuk
keragaman dan kesamaan jenis. Dalam hal ini, tipologi merupakan hasil elaborasi
karakteristik arsitektur, yang tersusun dari berbagai unsur kultural lokal dan
luar yang spesifik dalam suatu struktur klasifikasi, baik secara klasifikasi
fungsi, geometrik, maupun langgam/gaya.
Secara umum, tipologi berlandaskan pada kemungkinan
mengelompokkan beberapa objek, karena memiliki kesamaan dalam sifat-sifat
dasarnya. Tipologi juga dapat diartikan sebagai sebuah tindakan berpikir dalam
rangka pengelompokan (Loekito 1994). Pada awal mulanya, tipologi sering disalah
artikan sebagai sebuh cara melakukan klasifikasi atas dasar kriteria ‘model’.
Kata ‘tipe’ menggambarkan sesuatu yang bersifat spesifik, dan tidak dapat
diulang, sedangkan kata ‘model’ berarti sesuatu yang ada atau hadir karena akan
diulang (Loekito 1994).
Tipologi adalah studi tetang tipe. Tipe adalah kelompok
dari objek yang dicirikan oleh struktur formal yang sama, sehingga tipologi
dikatakan sebagai studi tentang pengelompokkan objek sebagai model melalui
kesamaan struktur. Struktur formal yang dimaksud disini tidak hanya berupa
istilah yang berkaitan dengan geometrik fisik semata, tetapi berkaitan dengan
apa yang disebut sebagai ‘deeper geometry’, yaitu geometri yang tidak
hanya sebatas pada perbandingan geometri matematis, akan tetapi berkaitan
dengan realita mulai dari aktivitas sosial sampai dengan konstruksi bangunan. Struktur formal juga diartikan sebagai kaitan atau
inter-relasi antar elemen (Sugini dalam Aplikawati 2006).
Tjahjono (1992) mengatakan bahwa studi tipologi dalam
dunia arsitektur berarti studi dalam usaha pemilahan, klasifikasi, hingga dapat
terungkap keragaman dan kesamaan dalam produk arsitektur yang satu dengan yang
lainnya. Pada dasarnya, tipologi merupakan konsep yang mendeskripsikan kelompok
objek atas dasar kesamaan sifat-sifat dasar. Menurut Sukada dalam
Sulistijowati (1991), ada tiga tahapan yang harus ditempuh untuk menentukan
suatu tipologi, yaitu sebagai berikut: 1. Menentukan bentuk-bentuk dasar yang
ada dalam setiap objek arsitektural; 2. Menentukan sifat-sifat dasar yang
dimiliki oleh setiap objek arsitektural berdasarkan bentuk dasar yang ada dan
melekat pada objek arsitektural tersebut; dan 3. Mempelajari
proses perkembangan bentuk dasar tersebut sampai pada perwujudannya saat ini.
Habraken
(1988) dalam Rusdi (1993) mengidentifikasikan tipologi arsitektur dalam
sebuah parameter pola analisis yang berkaitan dengan Tipologi Galgeon,
yang bertolak dari dasar perancangan arsitektur yang dipelopori oleh Vitruvius,
parameter tersebut adalah: 1. Sistem Spasial, sistem ini berhubungan dengan pola ruang, orientasi, dan
hierarkinya; 2. Sistem Fisik, sistem fisik dan kualitas figural berhubungan dengan
wujud, pembatas ruang, dan karakter bahannya; dan 3. Sistem
Stilistik, berhubungan dengan
elemen atap, kolom, bukaan, dan ragam hias bangunan.
Tiga alasan pentingnya tipologi dalam arsitektur, yaitu
antara lain (Aplikawati 2006:13): 1. Membantu proses analisis terhadap objek
arsitektur yang sudah ada (dalam hal ini berfungsi sebagai penggambaran objek);
2. Berfungsi sebagai media komunikasi, dalam hal ini terkait dengan transfer
pengetahuan; dan 3. Membantu kepentingan proses mendesain
(membantu menciptakan produk baru). Tipologi arsitektur dibangun dalam bentuk
arsip dari ”given tipes”, yaitu bentuk arsitektural yang disederhanakan
menjadi bentuk geometrik. ”Given tipes” dapat berasal dari sejarah,
tetapi dapat juga bersal dari hasil penemuan yang baru (Palasello dalam
Sulistijowati 1991:13). Menurut Sulistijowati (1991:12), pengenalan tipologi
akan mengarah pada upaya untuk ”mengkelaskan”, mengelompokkan atau
mengklasifikasikan berdasar aspek atau kaidah tertentu. Aspek tersebut antara
lain: 1. Fungsi (meliputi penggunaan ruang, struktural, simbolis, dan
lain-lain); 2. Geometrik (meliputi
bentuk, prinsip tatanan, dan lain-lain); dan 3. Langgam (meliputi periode,
lokasi atau geografi, politik atau kekuasaan, etnik dan budaya, dan lain-lain).
Dalam pandangan Krier (2001), wajah bangunan menyampaikan keadaan budaya
saat bangunan tersebut dibangun, wajah bangunan mengungkap kriteria tatanan dan
penataan, dan berjasa dalam memberikan kemungkinan dan kreativitas dalam
ornamentasi dan dekorasi. Krier (2001) mempertegas pendapatnya, bahwa muka
bangunan merupakan wajah bangunan yang memamerkan keberadaan sebuah bangunan
kepada publik. Muka bangunan dibentuk oleh dimensi, komposisi, serta ragam
hias. Komposisi muka bangunan mempertimbangkan persyaratan fungsional pada
dasarnya berkaitan dengan kesatuan proporsi yang baik, harmonis, dan selaras,
penyusunan elemen horizontal dan vertikal yang terstruktur, bahan, warna, dan
elemen dekoratif lainnya. Hal lainnya tidak kalah penting untuk mendapatkan
perhatian lebih adalah proporsi bukaan, ketinggian bangunan, prinsip
perulangan, keseimbangan komposisi yang baik, serta tema yang tercakup ke dalam
variasi.
Selanjutnya menurut Krier (2001), wajah bangunan juga menceritakan dan
mencerminkan kepribadian penghuni bangunannya, memberikan semacam identits
kolektif sebagai suatu komunitas bagi mereka, dan pada puncaknya merupakan
representasi komunitas tersebut dalam publik. Aspek penting dalam wajah
bangunan adalah pembuatan semacam pembedaan antara elemen horizontal dan
vertikal, dimana proporsi elemen tersebut harus sesuai terhadap keseluruhannya.
Setelah prinsip penyusunan wajah bangunan ini, kondisi konstruksi dapat dibuat
terlihat, misalnya artikulasi vertikal pada tiang sebagai penyangga. Penggunaan
elemen-elemen naratif seperti balok jendela untuk mempertegas independensi
jendela, teritisan yang menghasilkan bayangan, bahan-bahan yang menonjolkan
massa juga dapat digunakan (Krier,2001). Pendapat Lippsmeier (1980:74-90)
mempertegas lagi mengenai elemen wajah bangunan dari sebuah bangunan yang
sekaligus merupakan komponen-komponen yang mempengaruhi wajah bangunan adalah:
1. Atap; 2. Dinding; dan 3.
Lantai.
Elemen-elemen pendukung wajah bangunan menurut Krier (2001), antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Pintu, pintu
memainkan peranan penting dan sangat menentukan dalam menghasilkan arah dan
makna yang tepat pada suatu ruang. Ukuran umum pintu yang biasa digunakan
adalah perbandingan proporsi 1:2 atau 1:3. ukuran pintu selalu memiliki makna
yang berbeda, misalnya pintu berukuran pendek, digunakan sebagai entrance
ke dalam ruangan yang lebih privat. Skala manusia tidak selalu menjadi patokan
untuk menentukan ukuran sebuah pintu. Contohnya pada sebuah bangunan
monumental, biasanya ukuran dari pintu dan bukaan lainnya disesuaikan dengan
proporsi kawasan sekitarnya. Posisi pintu ditentukan oleh fungsi ruangan atau
bangunan, bahkan pada batasan-batasan fungsional yang rumit, yang memiliki
keharmonisan geometris dengan ruang tersebut. Proporsi tinggi pintu dan ambang
datar pintu terhadap bidang-bidang sisa pada sisi-sisi lubang pintu adalah hal
yang penting untuk diperhatikan. Sebagai suatu aturan, pengaplikasian sistem
proporsi yang menentukan denah lantai dasar dan tinggi sebuah bangunan, juga
terhadap elemen-elemen pintu dan jendela. Alternatif lainnya adalah dengan
membuat relung-relung pada dinding atau konsentrasi suatu kelompok bukaan
seperti pintu dan jendela;
2. Jendela, jendela dapat membuat orang yang berada di luar bangunan
dapat membayangkan keindahan ruangan-ruangan dibaliknya, begitu pula
sebaliknya. Albert (tt) dalam Krier (2001), mengungkapkannya
sebagai berikut: “...dari sisi manapun kita memasukkan cahaya, kita wajib
membuat bukaan untuknya, yang selalu memberikan kita pandangan ke langit yang
bebas, dan puncak bukaan tersebut tidak boleh terlalu rendah, karena kita harus
melihat cahaya dengan mata kita, dan bukanlah dengan tumit kita: selain ketidaknyamanannya,
yaitu jika seseorang berada di antara sesuatu dan jendela, cahaya akan
terperangkap, dan seluruh bagian dari sisa ruangan akan gelap...” Pada
beberapa masa, valuasi dan makna dari tingkat-tingkat tertentu diaplikasikan
pada rancangan jendelanya. Susunan pada bangunan-bangunan ini mewakili
kondisi-kondisi sosial, karena masing-masing tingkat dihuni oleh anggota dari
kelas sosial yang berbeda.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan jendela pada wajah
bangunan, antara lain adalah sebagai berikut: - Proporsi geometris wajah bangunan;
- Penataan komposisi, yaitu dengan pembuatan zona wajah
bangunan yang terencana; - Memperhatikan keharmonisan proporsi geometri;
- Jendela memberikan distribusi pada wajah bangunan, oleh
karena itu, salah satu efek atau elemen tertentu tidak dapat dihilangkan atau
bahkan dihilangkan; dan - Jendela dapat bergabung dalam kelompok-kelompok kecil
atau membagi wajah bangunan dengan elemen-elemen yang hampir terpisah dan
membentuk simbol atau makna tertentu;
3. Dinding, keberadaan
jendela memang menjadi salah satu unsur penting dalam pembentukan wajah
bangunan bangunan, akan tetapi dinding juga memiliki peranan yang tidak kalah
pentingnya dengan jendela, dalam pembentukan wajah bangunan. Penataan dinding
juga dapat diperlakukan sebagai bagian dari seni pahat sebuah bangunan, bagian
khusus dari bangunan dapat ditonjolkan dengan pengolahan dinding yang unik,
yang bisa didapatkan dari pemilihan bahan, ataupun cara finishing dari
dinding itu sendiri, seperti warna cat, tekstur, dan juga tekniknya. Permainan
kedalaman dinding juga dapat digunakan sebagai alat untuk menonjolkan wajah
bangunan;
4. Atap, jenis
atap ada bermacam-macam. Jenis yang sering dijumpai saat ini adalah atap datar
yang terbuat dari beton cor dan atap miring berbentuk perisai ataupun pelana.
Secara umum, atap adalah ruang yang tidak jelas, yang paling sering dikorbankan
untuk tujuan eksploitasi volume bangunan. Atap merupakan mahkota bagi bangunan
yang disangga oleh kaki dan tubuh bangunan, bukti dan fungsinya sebagai
perwujudan kebanggaan dan martabat dari bangunan itu sendiri.
Secara visual, atap merupakan sebuah akhiran dari wajah bangunan, yang
seringkali disisipi dengan loteng, sehingga atap bergerak mundur dari pandangan
mata manusia. Perlunya bagian ini diperlakukan dari segi fungsi dan bentuk,
berasal dari kenyataan bangunan memiliki bagian bawah (alas) yang menyuarakan
hubungan dengan bumi, dan bagian atas yang memberitahu batas bangunan berakhir
dalam konteks vertikal; dan
5. Sun
Shading/Luifel, wajah bangunan memerlukan perlindungan dari
cuaca dan iklim, oleh karena itu perlu adanya penggunaan ornamen atau
bentukan-bentukan yang dapat melindungi wajah bangunan dari kedua faktor
tersebut. Ornamen tersebut dapat berupa sun shading yang biasanya
diletakkan di bagian atas wajah dan bukaan-bukaan yang ada pada wajah bangunan.
Sun shading juga dapat menimbulkan efek berupa bayangan pada wajah
bangunan yang dapat menjadikan wajah bangunan terlihat lebih indah
PERTEMUAN KE
|
: 2,3,4
|
TUJUAN INSTRUKSIONAL
|
: Mahasiswa dapat mengetahui
tipe-tipe bangunan dan dapat memahami perbedaan fungsi dan style/gaya
bangunan
|
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
|
: Mahasiswa dapat mengetahui dan
dapat membedakan style/gaya bangunan
|
1.
San Carlo
alle Quattro Fontane
Contoh bangunan klasik adalah seperti San Carlo alle Quattro Fontane, bangunan ini
tipe bangunan ibadah yang berfungsi untuk beribadah (gereja) ( 1638-41) di Roma. Dirancang oleh Francesco Borromini (
1599-1677), merupakan salah
satu contoh arsitektur terkemuka bergaya Barok. Kompleksitas yang geometris
dalam menyambungkan bujur berbentuk oval dan lingkaran menciptakan keluasan di
dalam sudut gereja yang kecil, yang mana berdiri sangat dekat dari Palazzo
Barberini ( jendela yang dirancang oleh Borromini) dan piazza (serambi). (lihat
gambar 1.1 dan 1.2)
Gereja ini juga di jalan yang sama
dari saingan mereka Lorenzo Gian Bernini'S dalam bangunan yang juga berbentuk
oval Sant'Andrea al Quirinale. Kecekung bagian muka gedung yang cembung San
Carlo menggelombang dalam suatu fungsi dan tidak klasik. Salah satu patung yang paling utama dalam bangunan gereja
tersebut adalah patung suci Charles Borromeo yang dibuat oleh Antonio Raggi. Di sampingnya adalah
patung St. Yohanes Matha dan St. Felix Valois, pendiri dari Order Tritunggal.
Di sudut dekat air mancur terdapat
suatu lukisan tentang Neptunus berbaring telentang. Kubah dari gereja mempunyai
suatu pola teladan kopor salib kompleks, bujur telur, dan sudut enam. Dari
denah ini kita bisa lihat bahwa denah lantai dasar terdiri dari tiga ruangan
yang sesuai untuk bermaca-macam fungsi. Memasuki gereja ini kita akan
menjumpai sebuah nave ( ruang tengah gereja) yang berbentuk oval yang
menyediakan keangka spasial untuk rute prosesi umat.
Arah gerak dipertegas oleh kubah
barrel yang memanjang dan kolom-kolom pada kedua sisi nave, yang pada seetiap
kasus membentuk relung, nave berakhir pada bagian gereja yang terpenting yaitu
mimbar. Ruang ini diperluas pada ketiga bagian sisi-sisinya melalui apse-apse
(bagian gereja yang menonjol dan berbetuk setengah bundar). Bagian belakang
apse tenagh merupakan dinding kolomn. Melaluinya paduan suara dapat dilihat.

Arsitektur ( bangunan yang dikerjakan menjadi suatu desain yang estetik) mulai berakhir di Yunani dari akhir periode Mycenaean ( sekitar 1200 BC) sampai abad ke 7 BC, manakala kehidupan kota dan kemakmuran kembali dan sampai batas di mana gedung pemerintah dapat dikerjakan. Tetapi sejak bangunan Yunani kuno berada di Archaic dan awal periode klasik dibuat dari kayu atau tanah liat, tidak ada apapun sisa reruntuhan di antara bangunan tersebut kecuali tanah dan di sana hampir tidak ada sumber tertulis tentang awal arsitektur atau uraian dari bangunan tersebut.
Kebanyakan pengetahuan tentang
Arsitektur Yunani datang dari minoritas bangunan yang menyangkut gaya
klasik,Hellenistic dan periode Roma (sejak arsitektur roma mengikuti gaya
Yunani). Ini berarti hanya kuil yang bangunannya kuat yang bertahan. Arsitektur, seperti lukisan dan pahatan tidak dilihat
sebagai suatu " seni" pada Periode Yunani jaman kuno. Arsitek adalah
seorang tukang yang ahli yang dipekerjakan oleh bangsawan atau orang kaya.
Tidak ada perbedaan antara arsitek dan pemborong bangunan. Arsitek merancang
bangunan, menyewa tenaga kerja dan tenaga ahli untuk membangun dan bertanggung
jawab atas anggaran dan penyelesaian tepat waktu kedua-duanya. Ia tidak
menikmati statusnya, tidak seperti arsitek pada bangunan modern. Bahkan nama
arsitek tidak dikenal sebelum abad ke 5. Seorang arsitek seperti Iktinos, yang
merancang Parthenon, yang hari ini dinilai sebagai seorang arsitektur yang
genius, diperlakukan pada waktu itu dalam seumur hidupnya tidak lebih daripada
seorang pedagang.
Bentuk standar Gedung pemerintah
Yunani dikenal mempunyai bantuk yang sama dari Parthenon, dan bahkan bangsa
Roma membangun bangunan mereka ,engikuti gaya Yunani, seperti Kuil untuk semua
dewa di Roma.
Bangunan pada umumnya membentuk
suatu dadu atau kubus ataupun suatu segiempat panjang dan dibuat dari batu
gamping. Pualam adalah suatu material bangunan mahal di Yunani: pualam mutu
tinggi datang hanya dari Mt Pentelus di Attica dan dari beberapa pulau seperti
Paros, dan jalur transportasinya sangat sulit. Batu pualam digunakan dalam
pahatan dekorasi, tidak berstruktur, kecuali di dalam bangunan paling agung
periode zaman Klasik seperti Parthenon.
Titik dari atap Yunani yang rendah
membuat suatu bentuk persegi tiga pada masing-masing tepi bangunan, pediment,
yang mana pada umumnya diisi dengan dekorasi pahatan. Sepanjang sisi dari
bangunan, antara kolom dan atap, adalah suatu baris blok sekarang dikenal
sebagai entablature, yang permukaannya menyajikan suatu ruangang untuk memahat,
dekorasi yang dikenal sebagai metopes dan triglyphs. Tidak ada yang dapat
menyelamatkan bagunan Yunani dari keruntuhan, tetapi bangunan aslinya dapat
dilihat pada beberapa tiruan dari bangunan modern Yunani, seperti Yunani
Akademi Nasional yang membangun di Athena, lihat gambar (1.2)
Format Arsitektur umum lainnya yang
digunakan dalam arsitektur Yunani adalah tholos, suatu struktur lingkaran
dimana contoh yang terbaik adalah pada Delphi (lihat gambar 1.3) dan tujuan
religiusnya adalah melayani pemuja kuil, propylon atau serambi, yang mengapit
pintu masuk ke ruangan terbuka dan cagar alam ( contoh yang terbaik yang
dikenal adalah pada Acropolis Athens), dan stoa, suatu aula yang sempit panjang
dengan suatu colonnade terbuka pada satu sisi yang digunakan untuk mengatur
barisan kolom kuil Yunani. Suatu stoa yang telah dipugar adalah Stoa Attalus
dapat dilihat di Athena. (lihat gambar 1.1)
Dasar dari segiempat panjang atau
kubus pada umumnya diapit oleh colonnades ( baris kolom) pada bagian atas baik
dua maupun pada keempat sisinya. Ini adalah format dari Parthenon. Sebagai
alternatif, suatu bangunan berbentuk kubus akan membuat suatu serambi
bertiang-tiang ( atau pronaos dalam) istilah Yunani) sebagai pembentukan pintu
masuknya, seperti terlihat pada setiap Kuil untuk semua dewa. Yunani memahami
prinsip dari pekerjaan menembok bangunan lengkung tetapi penggunaannya sangat
sedikit dalam bangunan Yunani dan bangunan Yunani tidak meletakkan kubah pada
atas bangunan mereka tetapi mengatapi bangunan mereka dengan balok kayu yang
ditutup dengan terra cotta ( atau adakalanya batu pualam).
Kuil adalah tempat terbaik yang
dikenal umum dalam dunia arsitektural. Kuil tidak mempunyai fungsi yang sama
dalam melayani seperti pada gerja modern. Untuk satu hal, altar memikul langit
yang terbuka di dalam temenos atau tempat pengorbanan suci. Kuil bertindak
sebagai tempat penyimpanan benda-benda yang dianggap berhubungan langsung
dengan dewa yang dipuja. Kuil adalah suatu tempat untuk pemuja dewa untuk
meninggalkan sesaji yang memenuhi nazar mereka, seperti persembahan patung,
Pada bagian dalam kuil, cella, begitu para pemuja sebagian besar menyimpan
barang pemujaan mereka dalam ruangan besi dan gudang. Dan bangunan itu pada
umumnya dilapisi oleh baris kolom yang lain .
Tiap-Tiap Kota di Yunani dengan
segala ukurannya juga mempunyai suatu palaestra atau ruang olah raga. Ruangan
ini sangat terbuka dengan atap terbuka menghadap ke langit dan dilapisi dengan
colonnades, digunakan untuk kejuaraan atletik dan latihan juga sebagai pusat
perkumpulan kegiatan sosial dan juga tempat perkumpulan kaum pria.
Kota Yunani juga perlu sedikitnya satu
bouleuterion atau sidang, suatu bangunan yang besar yang sebagai ruang
pertemuanyang menempatkan dewan kota ( boule) dan sebagai gedung pengadilan. Karena Yunani tidak menggunakan
bangunan lengkung atau kubah, mereka tidak bisa membangun ruang besar tanpa
didukung oleh atap, bouleuterion adalah baris tiang dan kolom internal yang
digunakan untuk menopang atap atas.
Terakhir, tiap-tiap Kota di Yunani
mempunyai suatu teater. Ini digunakan untuk pertemuan-pertemuan publik atau
drama. Acara di dalam teater berkisar pada abad ke 6 BC ( lihat Teater Yunani).
Teater pada umumnya yang ditetapkan dalam suatu lereng bukit di luar kota itu ,
dan mempunyai tempat duduk berupa barisan yang ditetapkan dalam suatu seperdua
lingkaran di sekitar area pusat orkes atau acara. Di belakang orkes adalah
suatu bangunan rendah yang disebut skene, yang mana bertindak sebagai suatu
gudang, suatu kamar ganti, dan juga sebagai latar belakang pada tindakan yang
berlangsung di dalam orkes atau pertunjukkan tersebut. Sejumlah Teater Yunani
hampir tetap utuh, yang terbaik yang dikenal adalah teater Epidaurus.
Ada dua gaya utama dalam Arsitektur
Yunani, yaitu Doric dan Ionik. Nama ini digunakan hanya untuk bangsa Yunani
sendiri. dan mencerminkan kepercayaan mereka pada Ionic dan Doric dari zaman
kegelapan, tetapi ini tidak sepenuhnya benar. gaya Doric digunakan di tanah
daratan Yunani dan tersebar dari sana pada wilayah jajahan Yunani di Italia.
gaya Yang bersifat ionik digunakan di kota besar Ionia ( sekarang pantai barat
Turki) dan sebagian dari pulau Aegean.
Gaya Doric jadi lebih keras dan
formal, yang bersifat ionik jadi lebih longgar dan dekoratif. Gaya Corinthian
yang mempunyai banyak hiasan adalah perkembangan akhir dari gaya ionik. Gaya
ini dikenal hingga ke ibu kota, tetapi ada perbedaan banyak dalam poin-poin
desain dan dekorasi antara gaya tersebut. Lihatlah artikel yang terpisah pada
golongan klasik. Berikut adalah conth-contoh berbagai gaya kolom pada kuil di
Yunani.
Masa Renaissance sering disebut juga
masa pencerahan, karena menghidupkan kembali budaya-budaya klasik, hal ini
disebabkan banyaknya pengaruh filsuf-filsuf dari Yunani dan Romawi. Selain itu
ilmu pengetahuan, ketatanegaraan, kesenian, dan keagamaan berkembang dengan
baik. Di masa ini arsitekturnya ikut berusaha menghi-dupkan kembali kebudayaan
klasik jaman Yunani dan Romawi dengan jalur garap dan jalur pikir yang
tersendiri, tidak menggunakan jalur garap dan pikir Yunani-Romawi. Dengan
demikian, meskipun dalam wajah dan tatanan arsitektur dapat disaksikan
keserupaan, keserupaan ini adalah hasil dari penafsiran dan penalaran, bukan
semata-mata pencontohan dan bukan pula `penghadir-an kembali demi nostalgia’.
Pada masa ini, dunia keagamaan berkembang dengan pesat, terutama agama Kristen, sehingga pengaruh otorita seorang pemimpin gereja sangat kuat. Bersamaan dengan itu adalah tumbuhnya dan berseminya benih-benih ambisius dari ilmu untuk men-jajarkan diri dengan agama, yang pada saatnya nanti, akan menggantikan agama dalam perannya sebagai “penguasa semesta dan penguasa manusia”.
Gambar (1.1)
contoh
bangunan gaya renaissance yang memperlihatkan tiang-tiang gaya klasik.
Pemerintahan dengan sistem kerajaan
mulai digunakan, sehingga tercermin dalam bangunan-bangunan istana dan benteng
dengan bentuk klasik. Perhatikan, di sini kerajaan dipimpin oleh dua kekuasaan
yakni pertama adalah kekuasaan raja dan yang kedua adalah kekuasaan pemimin
agama. Konflik dan perebutan kekuasaan antara raja dan agama yang mewarnai
berjalannya jaman ini, kemudian diperramai lagi dengan munculnya kekuasaan baru
yakni ilmu dan pengetahaun.
Dengan demikian, di jaman ini da-pat
kita saksikan sosok perorangan yang ilmuwan, seniman dan sekaligus orang yang
religius seperti Leonardo da Vinci; namun di sisi lain dapat pula disaksikan
martir dalam keyakinan terhadap ilmu dan pengetahuannya, seperti Galileo
Galilei.
Arsitektur Renaisans (yang berjaya
dalam abad 15–17 M) memperlihatkan sejumlah ciri khas arsitektur. Munculnya
kembali langgam-langgam Yunani dan Romawi seperti bentuk tiang langgam Dorik,
Ionik, Korintia dan sebagai-nya; (meskipun pada perkembangan selanjutnya
peng-gunaan langgam tersebut mulai berkurang) dapat disam-paikan sebagai ciri
yang pertama.
Bentuk-bentuk denahnya sangat
terikat oleh dalil-dalil yang sistematik, yaitu bentuk simetris, jelas dan
teratur dengan teknik konstruksi yang bersahaja (kalau dibandingkan dengan masa
sekarang, masa abad 20 khususnya). Di satu pihak, ketaatan pada dalil-dalil ini
mencerminkan perlakuan yang diberlakukan pada arsitektur yakni, arsitektur
ditangani dengan menggunakan daya nalar atau pikiran yang rasional.
Perlakuan yang menggunakan daya nalar
ini sekaligus menjadi titik penting perjalanan arsitektur Barat mengingat
sebelumnya arsitektur sepenuhnya diperlakukan hanya dengan menggunakan daya
rasa seni bangunan. Dengan
kesetiaan pada dalil itu pula sebaiknya kehadiran detil dan perampungan yang
ornamental maupun dekoratif diposisikan. Maksudnya, unsur-unsur yang ornamental
dan dekoratif dari bangunan dihadirkan sebagai penanda dan penunjuk bagi
dalil-dalil yang digunakan. Sebuah ilustrasi sederhana dapat disampaikan di
sini untuk memberikan penjelasan tentang hal itu.
Dengan perhitungan dan pertimbangan struktur/konstruksi bangunan, maka jarak antar kolom dapat dibuat sebesar a meter. Akan tetapi, karena jarak a meter dengan tinggi kolom yang b meter tidak menghasilkan kesesuaian dengan dalil yang menunjuk pada perbandingan 2b=3a, maka di antara kedua kolom itu dimunculkanlah rupa yang tak jauh berbeda dari rupa kolom (dinamakan pilaster) sehingga nisbah (ratio) 2b:3a dapat dipenuhi.
Ringkas kata, dalam masa Renaisans
ini terjalinlah kesatuan gerak dalam berarsitektur, yakni kesa-tuan gerak nalar
dan gerak rasa. Di masa ini pula arsitektur Yunani dan Romawi ditafsir kembali
(reinterpretation) dengan menggunakan nalar (di-matematik-kan) dengan tetap
mempertahankan rupa-pokok Yunani (pedimen dan pilar/kolom yang menandai
konstruksi balok dipikul tiang)) serta Romawi (bangun dan konstruksi busur,
yakni konstruksi bagi hadirnya lubangan pada konstruksi dinding pemikul)
Tiang gaya ionik dari Bait Olympicon terkesan lebih muda. Lebih elegan dan
lebih langsing. Dimana tiang-tiang beserta balok murni masuk
ke dalam arsitektur Yunani. Gaya ini disebut Gaya Dorik dan lebih murni
dibandingkan gaya ionik.
Setelah tahun 1600-an, arsitektur
Renaisans mulai meninggalkan gaya-gaya klasik, kemudian disambung dengan
kebudayaan Barok (Baroque) dan Rococo. Barok dan Rococo dianggap merupakan
bentuk dari kebudayaan Renaisans juga. Contoh dari aliran Barok adalah gereja
St. Peter di Roma.
Gerakan pada akhir abad 18 dikenal
dengan Neo klasik. Bentuk arsitektur yang dianggap ideal kemudian diwujudkan ke
da-lam bentukan berkonstruksi kolom dan ba-lok dan tidak hanya bentukan dari
konstruk-si dinding pemikul. Wujud arsitekturnya ju-ga dapat ditandai dengan
munculnya un-sur-unsur dekoratif seperti pedimen, pedes-tal,
entablature-terpotong dan sebagainya. Dalam sejumlah proyek dapat disaksikan
bahwa bentukan yang kanonik masih dipakai untuk diletakkan pada posisi olahan
komposisional.
Gaya ini merupakan gaya anti-rokoko
yang dapat ditemukan pada beberapa gaya arsitektur eropa pada awal abad ke 18.,
dengan jelas diwakili dalam arsitektur Palladian di Georgia inggris dan
Ireland, selain itu juga dapat ditemui dalam lapisan klasifikasi akhir gaya
barok di Paris, di Berlin, dan bahkan di Roma, Alessandro Galilei pada bagian
muka dari gadeung Giovanni di Laterano. Ini merupakan suatu arsitektur
self-restraint yang sempurna, yang selektif hingga sekarang " yang
terbaik" dalam mengikuti gaya bangsa Roma.
Neoklasikal pertama berkembang dan
dan diperolah di London, melalui contoh dari bangunan Paris-Trained yang
dirancang oleh tuan William chambers dan james " Athenian" Stuart,
dan di Paris, melalui suatu generasi siswa seni Perancis yang training di
Akademi Perancis di Roma dan yang dipengaruhi oleh kehadiran Charles-Louis
Clérisseau dan tulisan Johann Joachim Winckelmann; itu dengan cepat diadopsi
oleh lingkaran progresif di Sweden. Di Paris, banyak dari generasi arsitek neoklasikal
yang pertama menerima pelatihan dalam Tradisi Perancis yang klasik melalui
suatu rangkaian tentang ceramah kuliah praktis dan menyeluruh yang ditawarkan
untuk dekade perkuliahan oleh Jacques-François Blondel.
Pada mulanya Italia bertaut pada Rococo sampai rejim Napoleo membawa arkeologis klasikal yang baru, yang dipeluk sebagai pernyataan politik oleh kaum muda yang progresif. Pusat dari ahli kebudayaan sejarah yunani polish adalah Warsaw di bawah aturan dari Raja polish Stanislaw Agustus Poniatowski. seniman dan arsitek yang dikenal terbaik di Poland tepatnya di Dominik Merlini, diantaranya adalah Jan Chrystian Kamsetzer, Szymon Bogumi Zug, Jakub Kubicki, Antonio Corazzi, Efraim Szreger, Kristen Piotr Aigner, Wawrzyniec Gucewicz dan Bertel.Thorvaldsen.
Pada mulanya Italia bertaut pada Rococo sampai rejim Napoleo membawa arkeologis klasikal yang baru, yang dipeluk sebagai pernyataan politik oleh kaum muda yang progresif. Pusat dari ahli kebudayaan sejarah yunani polish adalah Warsaw di bawah aturan dari Raja polish Stanislaw Agustus Poniatowski. seniman dan arsitek yang dikenal terbaik di Poland tepatnya di Dominik Merlini, diantaranya adalah Jan Chrystian Kamsetzer, Szymon Bogumi Zug, Jakub Kubicki, Antonio Corazzi, Efraim Szreger, Kristen Piotr Aigner, Wawrzyniec Gucewicz dan Bertel.Thorvaldsen.
Gaya neo klasik mengalami tantangan berat sejalan dengan pesatnya kemajuan
tekno-logi. Keyakinan bahwa arsitektur adalah ‘seni bangunan’ yang berbeda
dengan kegiatan ‘engineering’ mulai mengalami pergeseran, setelah muncul suatu
jarak antara arsitektur dan kemajuan konstruksi,bangunan. Perubahan-perubahan inilah yang kemudian mengarah pada
munculnya arsitektur mo-dern. Arsitektur modern sendiri berprinsip pada tradisi
fungsional, lebih cenderung pada pemikiran struktur daripada unsur-unsur
lainnya.
Dari sekitar tahun 1800 Yunani
merupakan contoh arsitektur yang segar, banyak mensketsa dan mengukir, memberi
suatu daya dorong baru ke gaya meoklasikal atau yang disebut Kebangkitan
kembali ilmu Yunani. Neoclassikal adalah suatu kekuatan utama di dalam seni
akademis sampai abad ke 19 dan di luar daripada itu gaya ini merupakan lawan
yang tepat dari gaya Romantis dan Gotik renasisans walaupun pada akhir abad ke
19 gaya ini diklasifikasikan sebagai gaya anti modern atau bahkan gaya yang
reaksioner. Pada
pertengahan abad ke 19, beberapa kota besar Eropa khususnya St Petersburg dan
Munich- diubah bangunannya ke dalam musium Arsitektur neoklasikal yang dijamin
kebenarannya.
Tokoh
Contoh tokoh Arsitektur neoklasikal adalah Karl Friedrich Schinkel’s dan bangunan dari Schinkel'S adalah Museum Tua di Berlin, Tuan John Soane’s arsitek dari Bank Inggris di London dan bangunan baru " capitol" di Washington, DC. Arsitek skotlandia Charles Cameron menciptakan interior mewah gaya Italianate untuk warga kelahiran jerman Catherine II yang agung di Rusia yaitu bangunan St. Petersburg dengan mnggunakan gaya internasional.
Contoh tokoh Arsitektur neoklasikal adalah Karl Friedrich Schinkel’s dan bangunan dari Schinkel'S adalah Museum Tua di Berlin, Tuan John Soane’s arsitek dari Bank Inggris di London dan bangunan baru " capitol" di Washington, DC. Arsitek skotlandia Charles Cameron menciptakan interior mewah gaya Italianate untuk warga kelahiran jerman Catherine II yang agung di Rusia yaitu bangunan St. Petersburg dengan mnggunakan gaya internasional.
4) RUMAH GAYA
KLASIK VICTORIA
Contoh rumah gaya sebuah karya
arsitektur adalah bagian dari tren. Setiap orang boleh mempunyai selera akan
gaya tetapi tidak setiap gaya harus menjadi bagian hidup seseorang. Karena itu
setiap gaya dalam bidang arsitektur bisa tetap langgeng dan pasti selalu ada penggemarnya.
Demikian juga sebuah karya yang akan di bahas ini, boleh dikatakan spesifik dan
cukup langka ditengah era rumah
minimalis
dan tropis modern, yaitu gaya klasik victorian yang elok dan nyaman. Hunian yang berlokasi di kawasan Pondok Kelapa. Jakarta
Timur ini merupakan kediaman keluarga H. Sudirman M.R. yang dirancang oleh
arsitek Darwandi dan desainer interior Dyah Retnowati dari tim konsultan Cipta
Selaras.
|
Hal ini terlihat dari pemakaian elem
en bangunan yang khas
seperti pintu-pintu yang tinggi dan jendela dengan daun dobel yaitu daun
jendela luar berupa krepyak sedangkan daun jendela dalamnya dilengkapi kaca.
|
Khusus
bagian atap, diterapkan bentuk atap khas gaya klasik Victorian Italianate
(sebuah periode dalam perkembangan rumah Victorian Style), berupa atap curam
dengan bagian puncaknya seakan-akan terpancung, dan dihiasi dengan
jendela-jendela yang menonjol keluar dari bidang atap curam tersebut.
Arsitek
juga mengadop elemen lain khas Victori-Italianate berupa cupola, yakni bagian
bangunan yang muncul di antara susunan atap/massa bangunan yang menjulang ke
atap mirip menara. Pada bangunan ini cupola tersebut denahnya berbentuk segi-6
dengan jendela-jendela keliling dan atapnya berbentuk kubah.
Cupola
ini di samping berperan sebagai point of view juga bertungsi sebagai sumber
pencahayaan alami bagi ruang dapur yang berada tepat di bawah kubah di lantai
dasar. Bentuk cupola kubah seperti ini sering kita jumpai pada
bangunan-bangunan kolonial di Indonesia, misalnya museum Fatahillah, gedung
Bank Indonesia Cabang Solo, dan gedung Lawang Sewu.
Elemen
lainnya khas gaya klasik Victorian juga berupa profil dekoratif yang menghias
dinding, jendela dan pagar rumah. Pemakaian material besi ulir dengan motif
stilasi melengkung pada pagar di balkon dan tangga dalam serta finishing duco
warna off white pada setiap penggunaan kayu semakin menegaskan suasana gaya
klasik di rumah ini.
Selain
itu, beberapa elemen bangunan tropis diterapkan untuk mengantisipasi perubahan
iklim tropis lingkungan. Contohnya teritis dan overstek dibuat lebih lebar dari
pakem bangunan gaya klasik pada umumnya. Jendela yang lebar dan platon yang
tinggi juga berhasil mengoptimalkan sirkulasi udara dan masuknya cahaya alami
ke dalam rumah sehingga ruang dalamnya terasa nyaman. Pemakaian material alami
seperti batu kali yang melapisi lantai pintu masuk dan tanaman di halaman muka
juga memberikan sentuhan alami yang menyegarkan.
Untuk
penataan di dalam rumah, arsitek dan desainer interior berupaya menciptakan
kesan lapang dan impresif terutama di sekitar pintu masuk utama yang merupakan
area menerima tamu. Oleh karena itu, dirancang foyer yang menyatu dengan tangga
di bagian muka rumah dan area tersebut dirancang dengan void dua lantai dan
plafon setinggi 6 m.
Tidak
hanya itu, tangga dan dinding juga didesain berbentuk separuh lingkaran dan
plafonnya dihias dengan lis profil yang disusun menyerupai sarang lebah
sehingga menjadi eye catcher di area ini. Selanjutnya ruangan tamu ditempatkan
di sebelah foyer dan terdapat bidang partisi yang menyekat antara foyer dan
area dalam rumah sehingga privasi penghuni tetap terjaga.
Masuk
ke bagian dalam, akan kita temukan ruangan keluarga yang dirancang langsung
menghadap ke ruangan makan dan teras belakang sehingga dapat menampung
aktivitas saat ada acara bersama.
Living
area ini hanya disekat oleh jendela kaca lebar sehingga memiliki pemandangan
lepas ke arah kolam renang di halaman belakang. Kamar tidur dan kamar mandi
utama ditempatkan dl lantai dasar dengan jendela lebar ke arah halaman belakang
sedangkan area servis dan garasi berada di sisi lain dari kaveling hunian. Di
lantai atas, arsitek membuat sebuah ruang hobi yang dikelilingi oleh dua buah
kamar tidur anak dan sebuah gazebo di balkon belakang yang menjadi tempat
favorit untuk bersantai di sore hari.
|
Dengan
mengacu pada prinsip interior gaya klasik, desainer memadu padankan motif
floral dengan motif garis-garis seperti terlihat pada pemakaian wallpaper dan
soft furnishing di hunian. Pada furniturnya, terlihat ciri khas gaya klasik
pada bentuk melengkung dan sentuhan warna emas yang dapat memberikan kesan
mewah dan menarik. Sebagian besar furnitur diberi finishing duco dan dilengkapi
oleh jok yang dilapisi oleh pelapis lembut.
Dengan
demikian, furnitur ditata bukan sekadar memenuhi fungsi saja tetapi juga
berfungsi sebagai benda seni (art work) yang dipadukan dengan aksesori interior
lainnya seperti karpet, gorden dan lampu. Benda seni koleksi pemilik juga
memainkan peranan penting dalam menciptakan “jiwa” hunian dan menegaskan
kepribadian pemiliknya. Secara keseluruhan hasil kerja sama yang harmonis
antara pemilik, arsitek dan desainer interior ini dapat mewujudkan sebuah
hunian idaman.
Gb.
1 Interior hunian didominasi oleh komposisi warna cokelat dan off white
monokromatik yang menghadirkan suasana hangat dan homey seperti yang terlihat
pada ruang tamu.
Gb.
2 Bagian muka rumah dilengkapi oleh portico di tengahnya untuk drop off dan
kendaraan dan elemen dekoratif khas contoh rumah gaya klasik Victorian berupa
profil dekoratif yang menghias dinding, jendela dan pagar rumah.
Gb.
3 Pemakaian material besi ulir dengan motif stilasi melengkung pada pagar di
balkon semakin menegaskan suasana gaya klasik di rumah ini.
Gb.
4 Masuk ke bagian dalam, akan kita temukan ruangan keluarga yang dirancang
langsung menghadap ke ruangan makan dan teras belakang sehingga dapat menampung
aktivitas saat ada acara bersama.
Gb.
5 Ciri khas gaya klasik terlihat pada bentuk melengkung dan sentuhan warna emas
yang dapat memberikan kesan mewah dan menarik. Sebagian besar furnitur diberi
finishing duco seperti terlihat pada ruang makan.
Gb.
6 Dalam menata ruangan dalam, desainer menerapkan interior bergaya klasik
Amerika yang ornamen dekoratifnya lebih sederhana dibandingkan dengan gaya
klasik Eropa seperti terlihat pada detil pagar tangga dan motif wallpaper-nya.
Gb.
7 Tangga dan dinding juga didesain berbentuk separuh lingkaran dan plafonnya
dihias dengan lis profit yang disusun menyerupai sarang lebah sehingga menjadi
eye catcher di area ini.
Gb.
8 Karakter khas gaya Victorian terlihat dari pemakaian elemen pintu-pintu yang
tinggi dan jendela dengan daun dobel yaitu daun jendela luar berupa krepyak
sedangkan daun jendela dalamnya dilengkapi kaca dan teralis dari besi ulir.
Gb.
9 Gazebo yang terletak di balkon belakang menjadi tempat favorit untuk
bersantai di sore hari.
5) KLASIK NAN ARTISTIK
“Elegan, nyaman dan indah”, demikian
kira-kira komentar orang saat berkunjung ke sebuah rumah tinggal bergaya neo
klasik yang berada di kawasan Kedoya, Jakarta Barat ini. Awalnya, bangunan dua lantai ini hanya disiapkan sebagai
paviliun dari rumah induk yang berada di kaveling sebelah. Namun kemudian
kebutuhan pemilik berkembang. Bangunan ini dirancang juga untuk tempat
olah raga pribadi, tempat berkumpul dan bersantai baik bersama keluarga maupun
bersama kolega pemilik. Bangunan yang dirancang oleh arsitek Ir. Handajanto
Sundojo dari PT Istasadhya Arsi ini juga mempertimbangkan alurnya dengan rumah
induk seperti koridor penghubung dalam dan konsistensi detail ornamental sehingga
tampil harmonis dan elegan.
Mengacu
pada tampilan rumah induk, arsitek memilih konsep arsitektur bergaya neo klasik
untuk bangunan baru, tanpa melupakan prinsip bangunan tropis. Hal ini terlihat
dari komposisi elemen yang serba simetris dan ornamen dekoratif yang bermotif
melengkung. Konsep ini diimbangi oleh dominasi teritis yang lebar dan deretan
jendela untuk sirkulasi udara segar serta masuknya cahaya alami ke dalam rumah.
Fasada rumah didominasi oleh warna putih gading dan cokelat serta dihias dengan
cladding dengan batu sandstone yang dipadukan dengan ukiran pada batu mocca
cream serta profil pada lisplank.
Pintu masuk utamanya sengaja
dinaungi oleh portico dan sepasang kolom. Letaknya menjorok ke dalam untuk
menegaskan kesan yang “hangat” dan mewah. Untuk susunan ruang dalam, arsitek
menata ruang-ruang bersifat publik secara terbuka dan mengalir agar dapat
menampung tamu dalam jumlah banyak. Melangkah ke dalam, kita menemui area foyer
yang dilengkapi oleh void dua lantai dan bersisian dengan ruangan kerja yang
merangkap perpustakaan pemilik. Di tengah rumah, terdapat area transisi yang
mengantar kita ke ruangan serba guna, tangga dan halaman belakang.
Area
transisi ini bersisian dengan pantri dan area makan pagi sedangkan teras berada
di pinggir kolam renang. Ruangan serba guna berukuran 10 m x 10 m dirancang dengan
plafon setinggi dua lantai yang dimanfaatkan untuk jamuan makan resmi, tempat
rapat dan acara hiburan seperti panggung menyanyi dan berdansa. Area menarik
lainnya adalah kolam renang berukuran 20 m x 10 m yang diberi naungan berupa
atap datar yang ditopang deretan kolom sehingga saat berolah raga tidak terkena
sinar matahari. Atap kolam ini juga dilengkapi oleh tiga buah lubang sehingga
suasana di bawahnya tidak gelap atau sumpek.
Bagian tepi atap dirancang berupa
kisi-kisi untuk tanaman rambat sedangkan area tepi kolam dikelilingi oleh taman
sederhana sehingga suasana kolam renang menjadi segar. Salah satu sisi kolam
renang didesain sebagai fokus perhatian dengan bentuk melengkung dan hiasan
berupa pagar dan patung. Beranjak ke lantai atas, kita dapat bersantai di
ruangan duduk atau beristirahat di kamar-kamar tidur tamu yang dilengkapi
dengan kamar mandi dalam. Interior bangunan ini dirancang oleh Alexander
Hudianto Wibowo dari PT Damar Mastercraft sedangkan desainnya terpadu dengan
arsitektur yang bergaya neo klasik.
Ciri
khas neo klasik terlihat pada sistem proporsi, penataan yang serba simetris dan
pola pengulangan / repetitif yang menghadirkan kesan formal dan teratur pada
interior rumah. Hal ini terlihat pada lis profil dan panelling yang menghias
bagian kolom dan dinding serta cornice pada plafon.
Gaya neo klasik yang sudah dimodifikasi
juga diterapkan di antaranya pola kotak-kotak pada plafon gantung yang
dilengkapi oleh lampu tersembunyi untuk menghilangkan kesan “berat” dari
ornamen dinding. Aplikasi
gorden, vitrage dan karpet juga berperan penting untuk membentuk suasana nyaman
dan “hangat” di ruangan.
Desainer melapisi hampir seluruh
lantai dalam dengan marmer jenis crema marvil yang dikombinasikan dengan motif
serat kayu antik sebagai bingkai tepinya. Furnitur yang khas klasik seperti
kursi berlengan dan sofa berukuran besar serta finishing antique wash menghias
setiap ruang. Ruangan serba guna sebagai pusat aktivitas di bangunan, dirancang
bergaya klasik Eropa yang lebih “berat” di antaranya berupa ornamen ukiran pada
cornice dan panelling dinding serta lukisan mural. Untuk memperindah ruangan,
desainer memadukan furnitur dengan benda-benda seni yang serasi dengan gaya
klasik.
Benda
seni seperti lukisan, tapestry, patung dan aksesori berupa lampu dan bantal
hias tampil menyatu dalam penataan interior dengan mengacu pada konsep rumah
galeri (home gallery) sehingga menjadi eye catcher dalam ruangan.
Tata pencahayaan jenis spotlight
atau jenis downlight juga sudah dipasang untuk menyorot keindahan benda seni.
Hal ini juga diterapkan pada area sekitar kolam renang agar tercipta suasana
yang menawan. Secara keseluruhan, desain bangunan yang elegan, interior yang
klasik dan benda seni di rumah ini berhasil mengekspresikan gaya hidup
penghuninya.
Tidak ada komentar:
Write komentar